Kerajaan Pajajaran merupakan nama lain dari Kerajaan Sunda ketika
kerajaan ini beribukota di Pakuan Pajajaran (Bogor), Jawa Barat yang
terletak di Parahyangan (Sunda). Kata Pakuan di kata Pakuan Pajajaran
berasal dari kata Pakuwuan yang memiliki arti kota, kebiasaan
pada masa lampau yang menyebut nama ibu kota sebagai nama kerajaan.
Beberapa catatan menyebutkan bahwa Kerajaan Pajajaran didirikan pada
923 Masehi oleh Sri Jayabhupati, seperti yang tertera dalam Prasasti
Sanghyang Tapak (1030 M) yang ditemukan di kampung Pangcalikan dan
Bantarmuncang, tepi Sungai Cicatih, Cibadak, Sukabumi.
Peta Kerajaan Sunda |
Masa Awal Pakuan Pajajaran
Pada akhir 1400-an Majapahit mulai melemah. Pemberontakan terjadi dimana
- mana, saling berebut kekuasaan antar saudara sedarah. Masa kejatuhan
pemerintahan Brawijaya V ini kemudian menyebabkan kerabat Kerajaan
Majapahit mengungsi ke ibukota Kerajaan Galuh di Kawali, Kuningan, Jawa
Barat.
Raden Baribin merupakan kerabat dari Prabu Kertabumi yang ikut dalam pengungsian tersebut. Kerajaan Galuh menerima kedatangan Kerajaan Majapahit dengan damai dan bahkan Raja Dewa Niskala menikahkan Raden Baribin dengan Ratna Ayu Kirana putri dari raja Kerajaan Galuh tersebut. Tak sampai disitu, Raja Galuh juga menikahi salahsatu keluarga pengungsi Majapahit rombongan Raden Baribin.
Pernikahan ini mengundang adanya kemarahan dari Kerajaan Sunda. Kerajaan Sunda menganggap bahwa Raja Galuh, Dewa Niskala dianggap menyalahi aturan yang sudah disepakati antara kedua kerajaan tersebut. Aturan ini adalah aturan yang keluar paska Peristiwa Bubat yang menyebutkan bahwa kerajaan Sunda Galuh dilarang menikah dengan kerajaan Majapahit.
Akibat dari hal tersebut, antara kedua kerajaan hampir terjadi peperangan antara kedua raja yang sebenarnya adalah besan. Penyebutan besan karena Jayadewata, anak dari Dewa Niskala menikahi putri dari Raja Sunda, Raja Susuktunggal. Untungnya, dewan penasehat dapat meredam amarah keduanya dan kemudian diputuskan dua raja tersebut turun tahta. Mereka harus menyerahkan posisi raja kepada putera mahkota yang ditunjuk oleh masing - masing kerajaan. Dewa Niskala kemudian menunjuk anaknya Jayadewata dan Prabu Susuktunggal juga menunjuk nama yang sama. Kemudian Jayadewata menyatukan kedua kerajaan dan menyandang nama Sri Baduga Maharaja memerintah di Pakuan Pajajaran pada 1482. Nama Pakuan Pajajaran kemudian terkenal sebagai nama kerajaan, terhitung ketika Jayadewata menyandang gelar Sri Baduga Maharaja tahun 1482.
Raden Baribin merupakan kerabat dari Prabu Kertabumi yang ikut dalam pengungsian tersebut. Kerajaan Galuh menerima kedatangan Kerajaan Majapahit dengan damai dan bahkan Raja Dewa Niskala menikahkan Raden Baribin dengan Ratna Ayu Kirana putri dari raja Kerajaan Galuh tersebut. Tak sampai disitu, Raja Galuh juga menikahi salahsatu keluarga pengungsi Majapahit rombongan Raden Baribin.
Pernikahan ini mengundang adanya kemarahan dari Kerajaan Sunda. Kerajaan Sunda menganggap bahwa Raja Galuh, Dewa Niskala dianggap menyalahi aturan yang sudah disepakati antara kedua kerajaan tersebut. Aturan ini adalah aturan yang keluar paska Peristiwa Bubat yang menyebutkan bahwa kerajaan Sunda Galuh dilarang menikah dengan kerajaan Majapahit.
Akibat dari hal tersebut, antara kedua kerajaan hampir terjadi peperangan antara kedua raja yang sebenarnya adalah besan. Penyebutan besan karena Jayadewata, anak dari Dewa Niskala menikahi putri dari Raja Sunda, Raja Susuktunggal. Untungnya, dewan penasehat dapat meredam amarah keduanya dan kemudian diputuskan dua raja tersebut turun tahta. Mereka harus menyerahkan posisi raja kepada putera mahkota yang ditunjuk oleh masing - masing kerajaan. Dewa Niskala kemudian menunjuk anaknya Jayadewata dan Prabu Susuktunggal juga menunjuk nama yang sama. Kemudian Jayadewata menyatukan kedua kerajaan dan menyandang nama Sri Baduga Maharaja memerintah di Pakuan Pajajaran pada 1482. Nama Pakuan Pajajaran kemudian terkenal sebagai nama kerajaan, terhitung ketika Jayadewata menyandang gelar Sri Baduga Maharaja tahun 1482.
Sumber Sejarah
Dari prasasti, naskah kuno, maupun catatan bangsa asing menceritakan
antara lain wilayah kerajaan serta ibukota Pakuan Pajajaran. Cerita
mengenai raja - raja Kerajaan Sunda yang menduduki ibukota Pakuan
Pajajaran, terdapat perbedaan urutan antara naskah - naskah Babad
Pajajaran, Carita Parahiangan serta Carita Waruga Guru.
Selain naskah babad, Pajajaran juga meninggalkan jejak lain, diantaranya :
Selain naskah babad, Pajajaran juga meninggalkan jejak lain, diantaranya :
Prasasti Batu Tulis, Bogor
Prasasti Kawali, Ciamis
Prasasti Sanghyang Tapak, Sukabumi
Prasasti Astanagede
Tugu Perjanjian Portugis (padrao), Kampung Tugu, Jakarta
Kitab cerita Kidung Sudayana dan Cerita Parahyangan
Taman perburuan, yang kini menjadi Kebun Raya Bogor
Berita dari Tome Pires (1513) dan Pigafetta (1522)
Kitab cerita Kidung Sudayana dan Cerita Parahyangan
Taman perburuan, yang kini menjadi Kebun Raya Bogor
Berita dari Tome Pires (1513) dan Pigafetta (1522)
Sisi Geografis Kerajaan Pajajaran
Kerajaaan Pajajaran berada di Parahyangan (Sunda). Menurut Tome Pires (1513) dalam catatannya The Suma Oriantal menyebutkan bahwa ibukota Kerajaan Sunda atau disebut Dayo (dayeuh) berada sejauh dua hari perjalanan dari Sunda Kelapa (Batavia).
Kondisi Politik
Kerajaan Pajajaran yang berada di Jawa
Barat berkembang dari abad ke 8 hingga 16. Berikut ini adalah raja -
raja yang memerintah Kerajaan Pajajaran :
- Sri Baduga Maharaja (1482-1521)
- Surawisesa (1521-1535)
- Ratu Dewata (1535-1543)
- Ratu Sakti (1543-1551)
- Ratu Nilakendra (1551-1567
- Raga Mulya (1567-1579)
- Rahyang Niskala Wastu Kencana
- Rahyang Dewa Niskala
- Sri Baduga Maharaja
- Hyang Wuni Sora
- Ratu Samian (Prabu Surawisesa)
- Prabu Ratu Dewata
Kondisi Ekonomi
Kerajaan Pajajaran hidup dari pertanian dan perladangan. Selain itu
Pajajran juga mengembangkan pelayaran serta perdagangan. Kerajaan
Pajajaran memiliki enam pelabuhan penting, diantaranya Pelabuhan Banten,
Pontang, Cigede, Tamgara, Sunda Kelapa (Batavia) serta Cimanuk
(Pamanukan).
Kondisi Sosial Budaya
Penggolongan masyarakat Pajajaran adalah golongan seniman, petani,
pedagang, serta golongan yang dianggap jahat seperti copet, rampok,
begal, maling dll). Kehiduan Budaya Pajajarann banyak dipengaruhi oleh
agama Hindu. Peninggalan budaya tersebut berupa Carita Parahyangan dan
kitab Sangyang Siksakanda, prsasti serta jenis batik.
Masa Kejayaan
Kerajaan Pajajaran mengalami masa keemasan pada masa pemerintahan Sri
Baduga Maharaja. Pembangunan pada masa Sri Baduga Maharaja menyangkut
pada semua aspek kehidupan. Karya besar yang pernah di torehkan oleh
Sang Maharaja adalah pembangunan talaga besar yang bernama Maharena
Wijaya, membangun jalan ke arah ibukota Pakuan dan Wanagiri. Memberikan
tanah perdikan kepada para pendeta untuk menggiatkan kegiatan keagamaan.
Membangun Kabinihajian (kaputren), kesatrian (asrama prajurit),
pagelaran (bermacam - macam formasi tempur), pamingtonan (tempat
pertunjukkan), memperkuat angkatan perang kerajaann, membuat sistem
pemungutan upeti kepada raja - raja bawahan serta menyusun undang -
undang kerajaann.
Pembangunan fisik tersebut tertera pada Prasati kebantenan dan Batutulis. Dari kedua Prasasti serta Cerita Pantun dan Kisah dari Babad dapat diketahui bahwa Sri Baduga pernah membuat tanah perdikan, membuat Talaga Maharena Wijaya, memperteguh ibu kota, membuat Kabinhajian, kesatriaan, pagelaran, pamingtonan, memperkuat angkatan perang kerajaan Pajajaran, membuat sistem pemungutan upeti, serta menyusun undang - undang kerajaan.
Pembangunan fisik tersebut tertera pada Prasati kebantenan dan Batutulis. Dari kedua Prasasti serta Cerita Pantun dan Kisah dari Babad dapat diketahui bahwa Sri Baduga pernah membuat tanah perdikan, membuat Talaga Maharena Wijaya, memperteguh ibu kota, membuat Kabinhajian, kesatriaan, pagelaran, pamingtonan, memperkuat angkatan perang kerajaan Pajajaran, membuat sistem pemungutan upeti, serta menyusun undang - undang kerajaan.
Kehancuran